Pages

Senin, 16 Mei 2011

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

A.     Dasar Hukum Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat yang berupa kerjasama kemitraan antara sekolah dengan pemerintah, orang tua, dan kelompok-kelompok masyarakat serta organisasi kemasyarakatan
lainnya dilindungi oleh undang-undang atau peraturan-peraturan pemerintah yang mendasari kerjasama kemitraan. Wasliman (2009: 135) mengatakan peran serta masyarakat sangat penting diwujudkan dalam implementasi pendidikan kebutuhan khusus, karena masyarakat memiliki berbagai sumberdaya yang dibutuhkan sekolah dan sekaligus masyarakat juga sebagai pemilik sekolah di samping pemerintah.
Pemerintah telah membuat aturan-aturan tentang pendidikan di Indonesia. Aturan tersebut berisi tentang setiap warga negara mendapatkan hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak tanpa membedakan derajat satu sama lain. Dalam undang-undang terdapat beberapa aturan tentang dasar hukum yang mengatur pada pendidikan tersebut.

Pasal 49 berbunyi: “Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”. Setiap warga negara bebas untuk mengembangkan kemampuanya dalam berinteraksi untuk mendapatkan pendidikan yang baik.
Pasal 51 berbunyi: “Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa”. Anak-anak yang mempunyai keterbelakangan mental berhak mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak-anak yang normal. Namun, pada kenyataannya mereka kurang diperhatikan, bahkan dikucilkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih memperhatikan masalah tersebut dan segera menanganinya agar mereka dapat mendapat pendidikan yang memadai.
Pasal 52 berbunyi: “Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus”. Dalam hal ini tentunya pemerintah lebih berperan, karena peran pemerintah sangat dibutuhkan. Anak-anak yang kurang mampu diberi bantuan agar mereka memperoleh pendidikan yang bagus.
Pasal 9: “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Pada saat sekarang pendidikan yang tidak didukung oleh sumber daya manusia yang baik, tentunya tidak akan tercapai. SDM sangat perlu dalam menunjang keberhasilan pendidikan di Indonesia. Dengan adanya SDM yang baik pendidikan pasti berjalan lancar.
Pasal 10: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan   perundangundangan   yang berlaku”. Pemerintah mempunyai wewenang dalam mengawasi jalannya pendidikan di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Bukan hanya itu, melainkan biaya pendikan juga perlu diawasi sepenuhnya oleh pemerintah. Baik pemerintah daerah maupun pusat mempunyai tugas yang sama dalam mengawasi biaya yang dikucurkan di daerah-daerah maupun di desa-desa.

B.  Komite Sekolah
Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Sekolah berada pada jantung komunitas atau masyarakat setempat. Mereka memiliki satu tradisi yang kaya tentang keterlibatan orangtua siswa dan komunitasnya dalam penyelenggaraan pendidikan. Demikianlah pernyataan Kementerian Pendidikan dan Pelatihan, Ontario, Kanada. Demikian pulalah sebenarnya hakikat sekolah di mata hati keluarga dan masyarakat di Indonesia.
Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).

1.       Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dibentuknya Komite Sekolah adalah agar ada suatu organisasi masyarakat sekolah yang mempunyai komitmen dan loyalitas serta peduli terhadap peningkatan kualitas sekolah. Komite Sekolah yang dibentuk dapat dikembangkan secara khas dan berakar dari budaya, demografis, ekologis, nilai kesepakatan, serta kepercayaan yang dibangun sesuai dengan potensi masyarakat setempat. Oleh karena itu, Komite Sekolah yang dibangun harus merupakan pengembang kekayaan filosifis masyarakat secara kolektif. Artinya, Komite Sekolah mengembangkan konsep yang berorientasi kepada pengguna (client model), berbagi kewenangan (power sharing and advocacy model), dan kemitraan (partnership model) yang difokuskan pada peningkatan mutu pelayanan pendidikan termasuk pendidikan kebutuhan khusus/pendidikan inklusif. Sedangkan tujuan dibentuknya Komite Sekolah sebagai suatu organisasi masyarakat sekolah untuk mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan. Meningkatkan tanggung-jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalampenyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

2.       Peran Komite Sekolah
Keberadaan Komite Sekolah harus bertumpu pada landasan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan proses pendidikan kebutuhan khusus/pendidikan inklusif di satuan pendidikan/sekolah. Oleh karena itu, pembentukan Komite Sekolah harus memperhatikan pembagian peran sesuai posisi dan otonomi yang ada. Peran Komite Sekolah adalah sebagai lembaga pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendiikan. Selain itu, juga sebagai lembaga pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.



3.       Fungsi
Komite sekolah memiliki peran seperti telah diuraikan di atas, Untuk menjalankan perannya, Komite Sekolah memiliki fungsi untuk mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Selain itu, melakukan kerjasama dengan masyarakat dan pemerintah berkenaan dengan penyelengaraan pendidikan bermutu sangat dibutuhkan. Bukan hanya itu, melainkan juga menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat, memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai.
4.       Pengurus dan Anggota Komite Sekolah
Dalam Buku Pedoman Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dijelaskan bahwa
kepengurusan dan keanggotaan Komite Sekolah berasal dari elemen masyarakat sebagai berikut:
    a. Perwakilan orangtua atau wali peserta didik
    b. Tokoh masyarakat
    c. Anggota masyarakat yang memiliki perhatian terhadap pendidikan
    d. Pejabat pemerintah setempat
    e. Dunia usaha dan dunia industri (DUDI)
    f.  Pakar pendidikan yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan
    g. Organisasi profesi tenaga kependidikan
    h. Perwakilan siswa, dan atau
     i. Perwakilan alumni untuk KS dan perwakilan Komite sekolah yang disepakati.

C. Stakeholders Pendidikan
1.         Konsep Stakeholders
Menurut kamus Merriam-Webster (1708) “stakeholder” terdiri dari dua kata yaitu stake dan holder. Di mana kata "stake" di sini berarti taruhan yaitu sesuatu yang dipertaruhkan, atas sesuatu yang penting. Perkembangan selanjutnya membuat pemakaian "stake" di jaman modern ini lebih kompleks, di samping berarti pancang, atau tonggak, kata "stake" jaman sekarang lebih berarti "sesuatu yang penting, yang dipertaruhkan. Kata "stake" sendiri sering dipakai untuk menyiratkan sesuatu yang sedang jadi issue atau sesuatu yang penting (message.2010:1).

2.      Pengelompokan Stakeholder
ODA (1995) mengelompokkan stakeholder ke dalam tiga kategori yaitu stakeholder primer, sekunder, dan stakeholder kunci. Sebagai gambaran pengelompokan tersebut pada berbagai kebijakan, program, dan proyek pemerintah (publik). Pengelompokannya adalah sebagai berikut:
Stakeholder primer, yaitu yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan.
Stakeholder sekunder, adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (consern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah.
Stakeholder Kunci, merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsure eksekutif sesuai levelnya, legisltif, dan instansi. Misalnya, stekholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level daerah kabupaten, yaitu pemerintah kabupaten, DPR kabupaten, dan dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan.
Pemimpin dan anggota diberi kebebasan bersikap dan berpandangan sehingga biasanya anggotanya tidak bisa bertindak atas nama organisasi. Misalnya, beberapa organisasi informal di masyarakat, LSM-LSM, yayasan-yasan pendidikan, dan sebagainya. Dalam proses pengambilan keputusan, suatu isu dapat berhubungan dengan salah satu karakteristik stakeholder atau kombinasi stakeholder tersebut. Maksudnya, suatu keputusan yang akan diambil dapat berhubungan stakeholder publik yang tidak terorganisir atau dapat pula berhubungan dengan beberapa stakeholder terorganisir (multi-stekholder terorganisir).
Pengelompokan stakeholder dapat dilihat dari kecendrungan posisi dan pandangan, misalnya kelompok yang terdiri LSM, organisasi masyarakat, tokoh Masyarakat, dan masyarakat bawah, dan kelompok yang cenderung netral atau selama ini lebih berafiliasi dengan pemerintah, seperti Perguruan Tinggi, organisasi profesi dan konsultan.

3. Penetapan Stakeholders
Menurut Prabowo (2008), penetapan stakeholder dari lembaga pendidikan merupakan proses yang sangat penting dalam manajemen lembaga. Kesalahan dalam menentukan stakeholder potensial tersebut akan berdampak pada kesalahan dalam proses perubahan manajemen selanjutnya yang pada akhirnya akan menimbulkan tidak terserapnya produk dan layanan lembaga pendidikan di masyarakat. Itulah sebabnya sebelum dilakukan analisis, lembaga pendidikan harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya yang ada di lembaga tersebut dengan memproyeksikan stakeholder utama ke depan. Oleh karena itu, faktor-faktor yang menjadikan sekolah/madrasah bermutu harus memiliki tingkat stakeholder potensial yang mampu memberikan visioner dan memanajemen strategi pengelolaan sebuah lembaga.
Sepantasnya, para stakeholder berkepribadian yang bermutu pula. Kemampuan memimpin dalam melaksanakan perubahan terutama perubahan dalam maindset orang-orang yang ada di sekolah/madrasah akan menjadi titik awal dalam meraih pendidikan bermutu yang
memiliki karakter sekolah/madrasah yang berkualitas dan dapat mengakomodasi semua peserta didik termasuk peserta didik ABK.

D. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
1.  Pengertian
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa Inggris: non-governmental organization; NGO).
Menurut Instruksi Menteri dalam negeri nomor 8 tahun 1990 tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat, yang dimaksud LSM adalah organisasi atau lembaga yang dibentuk oleh anggota masysrakat warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapka oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitik beratkan kepada pengabdian secara swadaya. Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di indonesia berbentuk yayasan.

LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi non pemerintah bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi maupun negara. Pembinaan terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam rangka mengembangkan, mendayagunakan peranan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam pembangunan secara swadaya dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan bertujuan agar keberadaan seerta kegiatannya bermanfaat bagi kepentingan masyarakat dan sejalan dengan pembangunan di daerah, dalam lingkup pembangaunan nasional.
Secara garis besar dari sekian banyak LSM atau organisasi non pemerintah yang ada dapat di kategorikan sebagai berikut:
            Organisasi donor, adalah organisasi non pemerintah yang memberikan dukungan biaya bagi kegiatan ornop lain.
Organisasi mitra pemerintah, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatanya.
Organisasi profesional, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti ornop pendidikan, ornop bantuan hukum, ornop jurnalisme, ornop kesehatan, ornop pengembangan ekonomi dll.
Organisasi oposisi, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Ornop ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan terhadap keberlangsungan kegiatan pemeritah.








BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada Bab I dan II, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Implementasi pendidikan kebutuhan khusus/pendidikan inklusif memiliki dasar hokum internasional dan nasional yang kuat, oleh karena itu pelaksanaan pendidikan kebutuhan    khusus/ pendidikan inklusif merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah, sekolah, dan masyarakat.
2.      Implementasi pendidikan kebutuhan khusus/pendidikan inklusif memerlukan kerjasama kemitraan antara pemerintah, pemerintah daerah, sekolah, orang tua, keluarga, komite sekolah, dan stakeholder serta kelompok-kelompok masyarakat baik yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan seperti organisasi penyandang cacat, dan yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat seperti yayasan pendidikan, dll.
3.      Peran Serta Masyarakat (PSM) yang terdiri dari orang tua, anggota keluarga, tokoh masyarakat, para pengusaha, profesional pendidikan, profesional medis, dan stakeholder perlu digalakkan dan ditumbuhkembangkan secara optimal agar implementasi pendidikan kebutuhan khusus/pendidikan inklusif dapat berlangsung dengan baik seperti yang diharapkan oleh masyarakat pendidikan dan negara.
4.      Tugas pokok dan fungsi serta keberadaan komite sekolah, stakeholder, dan LSM perlu dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat yang berkepentingan dengan terlaksannya pendidikan yang berkualitas termasuk dalam implementasi pendidikan kebutuhan khusus/pendidikan inklusif.
5.      Implementasi pendidikan kebutuhan khusus/pendidikan inklusi memerlukan kolaborasi dan sinergi serta kerjasama kemitraan yang sehat antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan kelompok masyarakat yang terhimpun dalam Komite Sekolah, stakeholders, dan LSM.



DAFTAR PUSTAKA

2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas
Alimin, Zaenal. (2008). Pemahaman Konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus Dan Anak
Berkebutuhan Khusus. (Online). Tersedia: http://zalimin. blogspot.com/2008/03/pemahaman-konsep-pendidikan-kebutuhan.html. (16 Juni 2009)
Dyah S. (2008). Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus pada
Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. (online). Tersedia:
http://www.puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%20S_Pengkajian
%20Pendidikan%20Inklusif.pdf (9 Januari 2009)
Skjorten, Miriam D.& Johnsen, Berit H. (ed).( 2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah
Pengantar. Oslo: Unipub forlag.
Wasliman,Iim. (2009). Pendidikan Inklusif Ramah Anak sebagai Strategi Membangun
Rumah Masa Depan Pendidikan Indonesia. Bandung. Depdiknas Kopertis wilayah IV
Jabar STKIP.
Wasliman, Iim. (2009). Manajemen Sistem Pendidikan Kebutuhan Khusus. (Perangkat Sistem
Pengajaran Modul). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
http://re-searchengines.com/trimo80708.html
http://pakguruonline.pendidikan.net/komitesekolah_bab4.html
http://www.averroes.or.id/pendidikan/penetapan-kurikulum-perlu-libatkan- stakeholder .html
http://nurulfikri.sch.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118:membangun-sekolahyang-
layak-dijual&catid=19:resensi-buku&Itemid=39


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Bner,,

Posting Komentar